
Hi xpert people, thanks banget udah mampir baca konten blog kita. Kali ini kita udah masuk part kelima dalam memulai bisnis clothing, part lain bisa kamu baca di link ini.
Nah, di tulisan ini kita akan ngebahas tentang gimana caranya berkolaborasi sesama brand clothing dan bareng influencer. Tertarik? Langsung aja kuy!
Kolaborasi sesama brand clothing jadi salah satu strategi marketing-branding yang efektif di era sosmed begini, kebanyakan tujuannya sih supaya bisa cross-market atau bersilang konsumen, dan masih banyak benefit lain.
Awalnya kita bingung gimana caranya brand-brand seperti Urbain bisa collab bareng Thanksinsomnia, Erigo, Queenbeer, dst. Penasaran, kita punya kesempatan ngobrol bareng Bang Mathias, owner Queenbeer.
“Bang, gimana caranya biar brand lain mau collab sama brand kita? Sedangkan brand kita kan baru, otomatis kita ngga punya daya tawar apa-apa, dan gimana model kerjasamanya?”
Waktu itu kita ikutan workshop tentang clothingpreneur dan ada Bang Mathias, Bang Sadad (Erigo), Bang Rico Lubis (Urbain), Bang Mohan (Thanksinsomnia), dan Bang Ucok (Jakcloth) sebagai pembicaranya. Beuh, mereka tuh owner brand-brand lokal street-wear yang eksis di Indonesia.
Kita dapet informasi yang mantep banget nih, kita share gratis! Mau tau apa aja? Baca terus cuy.
Cross-market
Seperti yang udah dijelasin di awal artikel, salah satunya tujuan terbesar kolaborasi sesama brand clothing emang cross-market. Supaya mendapatkan potensi costumer dari audience atau follower yang mau kita ajak collab. Jadi bukan sekedar cuma keren-kerenan.
Kalo untuk brand awal emang rada sulit kalo mau collab sama brand yang udah eksis, “Queenbeer juga di awal-awal begitu,” kata Bang Mathias. Terus apa dong yang kudu diperhatiin untuk bisa kolaborasi sama brand lain? Baca terus.
Ngga muna, tentu yang pertama kali diperhitungkan adalah jumlah audience atau market potensial. Logika-nya gini, brand A punya audience 100K, brand B punya audience 500. Kemudian brand B ngajak collab ke brand A. Apa yang terjadi?
Realita pahitnya, ya dikacangin. Analisa simple-nya gini: di sisi B, dia dapet keuntungan cross-market yang besar dari brand A, tapi apa benefit di sisi brand A?
Kecuali, kalo brand B bisa ngasih benefit lain buat brand A, kemungkinan collab bisa terjadi. Note: audience di sini bukan cuma jumlah follower, bisa juga komunitas, group, offline store, value brand, tongkrongan, networking, dst.
Ngga heran lagi ya kenapa ada brand lokal yang collab sama bumbu masak, minuman, obat sakit kepala, bahkan sampe ke kondom.
Engagement
Selain jumlah audience atau follower, hal lain yang sangat diperhitungkan adalah level engagement audience kamu. Ada juga kan brand yang followernya banyak, tapi sepi interaksi di sosmed mereka. Ini juga jadi poin yang penting banget.
Apalagi buat brand pemula, follower dikit, yang beli dikit, yang comment spam semua pula.
Kenyataan ini emang cukup menyakitkan buat brand-brand pemula. Jadi disaranin buat brand pemula untuk bekerja keras membangun fan-base atau audience-nya dulu. Membangun interaksi yang baik. Membangun branding yang unique.
Ketika sudah punya audience yang begitu, akan memudahkan kamu berkolaborasi bareng brand-brand lain.
Value
Kita study kasus ya, kita bisa liat Urbain dengan tagline ‘VS EVERYBODY’-nya yang collab sama regional-brand di setiap daerah. Urbain punya fan-base sendiri, dan brand-brand regional juga punya base mereka sendiri, makanya setiap kali mereka kolab, selalu jadi happening.
Kasus ini menjawab pertanyaan kamu selama ini yang kebingungan, “Kok kata-kata gitu doang bisa laku ya? Sedangkan gue yang udah susah payah ngedesain, susah amat jualannya?!”
Kita mengerti ke-julid-an kamu.
Kita pernah punya kesempatan ngobrol bareng Bang Rico Lubis —owner Urbain. Desain emang penting, tapi value lebih penting, yaitu gimana caranya brand kita bisa memberi kesan tertentu ke audience.
Bicara soal value, pernah tau Pablo Picasso? Itu loh tukang cireng di depan SD Meruyung Dia ini seniman dengan lukisan abstrak, lukisannya ngga jelas, tapi punya nilai yang sangat tinggi! Karena Picasso bukan cuma seorang pelukis, tapi juga jenius dalam berbisnis.
Gimana cara bikin value? Hmm, yang satu ini emang susah-susah-susah (bukan susah-susah-gampang), perlu banyak maen, ketemu orang-orang berpengalaman, sering sharing-sharing, berbagi insight, dan baca-baca tulisan berfaedah.
Model Kerjasama
Sebenernya kembali ke kesepakatan antara dua pihak ya, yang paling umum itu profit share atau commission fee. Nah, biasanya sih yang dipake buat model kerjasama antara dua brand, yaitu profit sharing. Teknisnya gini, misal pengeluarannya antara lain jasa desain, production cost, dan marketing-campaign cost.
Setelah diitung bareng bakal keluar berapa duit, kedua pihak membahas pembagian modal dan jobdesknya gimana, biasanya siapa yang bakal ngeluarin kontribusi dan risiko yang lebih tinggi, akan dapet profit share lebih tinggi —balik lagi ke kesapakatan. Jika sudah deal, biasanya ada kesepakatan hitam di atas putih. Kemudian jalan deh.
Sesimple itu sih, yang ribet mah nyari yang mau ngajak kolab ya? Hehe. Bagi brand yang masih awal-awal pastinya akan mengalami kesulitan kolaborasi sesama brand clothing, meski sebenernya bisa aja kolaborasi bareng brand-brand yang masih awal. Kalo audience-nya sama-sama masih kecil, akan sulit juga dalam penjualannya nanti (baca artikel Cara Jualan Brand Clothing di sini). Tapi tenang, ada jalan lain.
Bagi yang ngerasa kolaborasi sesama brand clothing ini sulit, ada jalan lain kalo kamu punya kenalan, temen, sodara yang mau jadi influencer dengan follower dan engagement yang rada lumayan. Kamu bisa ngajak mereka collab sebagai brand ambassador. Ini termasuk bentuk kolaborasi loh.
Hal yang bisa kamu tawarkan biasanya profit share dari setiap penjualan dalam masa kontrak. Kebanyakan dari mereka open loh dengan tawaran seperti ini. Kamu hanya perlu mencoba berkomunikasi bareng mereka.
Misal kamu ngasih share 10% atau 20% dari profit selama 6 bulan jalan kontrak bareng. Ini bisa jadi cara yang aman dan efektif buat ngangkat brand kamu, kamu juga ngga keluar duit lagi buat biaya marketing. Balik lagi, berapa pun nilai atau persentase kerjasama-nya, tergantung kesepakatan kedua pihak, ngga ada patokan baku. Yang penting, keduanya tidak dirugikan.
Oke deh, artikel kali ini cukup dulu ya, kita akan lanjut dengan pembahasan lain di kesempatan berikutnya, kalo mau tanya-tanya, bisa diskusi di kolom komentar. Ciyao.